Oleh: Muhammad Zulfikar Noor
Kabid Hikmah Komisariat Psikologi
Dipersembahkan untuk keluargaku, IMM se-Djazman Al-Kindi
Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) sebagai salah satu Organisasi Otonom Muhammadiyah bergerak
di lingkungan kemahasiswaan, sejauh ini jika menilik sejarah yang telah dilalui
mengalami dinamika yang kompleks. Organisasi yang lahir pada masa gejolak
politik, sosial dan ekonomi tersebut pada saat ini mengalami pendewasaan yang
sangat cepat, karena pada saat itu sudah dihadapkan dengan kondisi dan ancaman
yang cukup berat, seperti kemiskinan struktural, konflik SARA hingga penghianatan
Partai Komunis Indonesia yang salah satunya berusaha menghancurkan organisasi gerakan
mahasiswa. Secara historis IMM lahir dari problematika kebangsaan, hal ini
tentunya menguatkan mental ikatan sebagai gerakan mahasiswa.
Tokoh-tokoh
pendiri IMM merupakan tokoh intelektual yang sangat dihormati pada saat itu,
bahkan Ayahanda Djazman Al-kindi sempat berdialog langsung dengan Presiden
Soekarno terkait dengan rencana KAA (Konferensi Asia-Afrika), Bung Djazman
sebutannya kala itu membuat presiden Soekarno merasa takjub melihat
keintelektualisannya sebagai kaum muda. Bukan hanya cakap dalam intelektual,
beliau juga memiliki tingkat religiusitas yang tinggi, dengan beberapa kader
awal saat itu adalah hafidz Quran dan hampir tak pernah meninggalkan
praktek-praktek ritual keagamaan.
Jika
kita lihat fenomena kader ikatan saat ini, kondisi kader ikatan masih sangatlah
jauh dari profil Founding Father
ikatan, banyak kader ikatan yang begitu mudahnya terjebak dalam politik praktis
hanya karena takjub dan tergiur dengan tawaran partai politik. Pemahaman High Politic dalam diri kader masih dipahami
secara parsial dalam ghiroh perjuangan, bahkan bersikap pragmatis. Hal ini menunjukkan
pengikisan nalar kritis kader ikatan karena banyak faktor yang
melatarbelakanginya termasuk ambisi pribadi.
Fenomena
selanjutnya adalah minimnya budaya literasi. Banyak kader ikatan yang merasa
bahwa budaya literasi tidaklah menjadi prioritas utama dalam pengejewantahan
misi ikatan. Padahal ayahanda kita saja memiliki budaya literasi yang begitu
kuat, rasanya tidak akan mungkin IMM dilahirkan dan disetujui langsung oleh
Presiden Soekarno jika tokoh pendirinya memiliki tingkat keintelektualitasan
yang minim.
Selain
itu, minimnya jiwa religiusitas kader, religiusitas sebagai salah satu aspek
dalam Tri Kompetensi Dasar tentunya tidak bisa dikesampingkan begitu saja,
banyak kader ikatan yang masih begitu mudahnya takjub dengan
pemikiran-pemikiran sekuler atau pemahaman kidal tanpa menyeimbangkan dengan
pemahaman agama islam sebagai nilai pertama dalam Enam penegasan IMM, hal ini
menyebabkan bias identifikasi antara kader ikatan dengan kader pergerakan
nasionalis-sosialis. Kader ikatan kehilangan jati dirinya sebagai anak kandung
dari persyarikatan Muhammadiyah yang berpedoman teguh pada Al-Quran dan
As-Sunnah. Fakta selanjutnya dari fenomena ini adalah minimnya etika komunikasi
dalam jalannya roda organisasi, banyak konflik dalam internal ikatan hanya
karena kader ikatan tak pandai merangkai kata dan seringnya justifikasi pada
kader ikatan lain yang tak se-pemahaman dengan dirinya. Padahal etika
komunikasi merupakan hal yang sangat penting dalam jalannya roda organisasi. Jangan
harap akan terjadi konflik vertikal jika kader ikatan masih sibuk pada konflik
horizontal, bahkan masih sibuk bergelut dengan konflik internal yang masih
sering terjadi dari tataran pusat sampai tingkat komisariat. Tentunya hal ini akan
menjadi wacana belaka dalam pencapaian misi ikatan dan persyarikatan jika kader
ikatan belum bisa menyelesaikan problema ini.
53
tahun sudah IMM menjalankan misi dakwahnya sebagai organisasi gerakan
kemahasiswaan yang mencerahkan. Fenomena-fenomena diatas sebenarnya bukan hanya
menimpa kader ikatan, namun secara umum telah menjadi problema kader gerakan
kemahasiswaan lain pasca-reformasi. Khusus
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah permasalahan diatas harus menjadi fokus utama
penindaklanjutan oleh pemangku jabatan dalam struktural ikatan. Optimisme bahwa
IMM akan tetap bisa mengawal bangsa menuju misi berkemajuan masihlah ada jika
dalam benak kader ikatan masih tersimpan rasa perjuangan yang semata-mata
ikhlas untuk ikatan bukan untuk kepentingan pribadi. Jika rasa semacam itu
sudah terpatri maka misi berkemajuan akan menjadi keniscayaan. Yang diperlukan
adalah tangan yang tak ragu bergerak, lidah yang tak takut berucap dan jiwa
yang tak gentar pada rintangan. Maka mari bergerak satukan rasa, jiwa dan
perbuatan. Momentum milad ini adalah saat yang tepat untuk kembali menghidupkan
profil kader ikatan sebagaimana dulu dibentuk oleh founding father IMM.
Fastabiqul Khairat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar