Oleh: Fajar Abdul Majid
(Ketua Koordinator Komisariat Universitas Ahmad Dahlan)
Tidak sedikit orang mengira bahwa
tugas dakwah sudah berakhir setelah khotbah di masjid, setelah khotib menyuruh
orang berbuat baik, setelah melarang dari perbuatan munkar, dan setelah
menerangkan bab sholat, thaharah maupun bab nikah. Pada saat yang sama, ada
sebagian orang yang rela menghabiskan waktunya untuk mengais sampah-sampah dan
berbaur dengan lingkungan kotor, kasar dan tidak bersahabat. Ada juga yang
mengerang kesakitan sambil memegang perut menantikan sesuap nasi setelah sabar
menunggu selama 2 hari. Mereka adalah orang-orang yang lemah atau kaum
mustadh’afin.
Dalam surat al Ma’un dijelaskan
bahwa pengingkar Tuhan bisa datang dari orang yang beribadah namun tidak
memiliki kepekaan sosial. Dalam tafsirnya, Al Maraghi mengatakan bahwa pengingkar
tuhan adalah orang yang rajin beribadah tetapi riya. Penanda keriyaan itu
adalah ketidak pedulian kepada kaum mustadh’afin. Al Quran, melalui ayat ini,
dan pada banyak ayat yang lain, menegaskan kritiknya kepada perilaku
kapitalsitik.
Bahkan dengan sengat jelas Al
Quran memberikan definisi kebajikan (al birri). Menurut Al Quran, yang disebut
kebaikan adalah keterpaduan antara keimanan (transendensi) dengan praksis
gerakan (QS. Al Baqarah: 177). Al Quran dengan tegas melakukan kritik terhadap
praktek ritual yang individualistic. Ritual ibadah menjadi tidak ada artinya
jika tidak diikuti dengan aksi nyata untuk kemanusiaan. Islam bukan hanya
masalah kalkulasi dosa dan pahala. Islam juga bukan sekedar mengiming-imingi
manusia dengan surga dan menakut-nakutinya dengan neraka. Lebih dari itu, Islam
adalah ajaran rahmat bagi seluruh alam. Islam adalah cara Tuhan untuk melakukan
transformasi dari zaman penindasan menuju zaman pembebasan. Dan umat Islam,
dengan demikian, adalah agen yang diperintahkan Tuhan untuk membawa misi
pembebasan tersebut.
Jika agama hanya dipahami sebagai
hubungan mesra antara seseorang dan Tuhan-Nya, maka tidaklah berlebihan kiranya
tuduhan bahwa agama hanyalah candu. Agama hanya membuat manusia “terlena”
dengan kenikmatan ritual tanpa peduli dengan realitas disekelilingnya.
Bagaimana mungkin di negara yang warganya mayoritas muslim ini ternyata budaya
korupsi, suap dan perilaku munkar lainnya menjalar seperti jamur di musim
hujan?, Bagaimana mungkin angka kemiskinan terus meningkat ditengah makin
bertambahnya jumlah jamaah haji dari Indonesia?, Ini membuktikan bahwa
kehidupan umat Islam ternyata masih jauh dari nilia-nilai luhur yang
diperjuangkan para nabi, yaitu kemanusiaan.
Agama yang seharusnya menjadi
titik pijak yang cukup penting dalam keterlibatannya mewujudkan masyarakat
adil, sejahtera, dan setara, harus dikembalikan pada tujuan awal penurunannya.
Hal ini menjadi penting pada saat negara yang seharusnya berperan lebih terhadap
masyarakat ternyata tidak mampu memerankan peranan pembangunannya dan
mengantarkan tranformasi sosial ekonomi masyarakat yang terjerat kemiskinan.
Agama Islam, oleh banyak penulis
sejarah, bukan saja dianggap sebagai agama baru, melainkan juga sebagai suatu
kekuatan pembebas umat manusia. Segi inilah yang menyebabkan islam, dahulu,
begitu cepat menyebar di Indonesia, padahal pada waktu itu masyarakat Indonesia
ditindas oleh sekelompok kaum raja dan feodal. Islam datang, melalui daerah
pantai, mengajarkan persamaan dan pembebasan.
Usaha mengubah masyarakat tidak
akan berarti tanpa adanya perubahan pemahaman agama ditingkat praksis. Menurut
M. Dawan Raharjo, Usaha perubahan harus dimulai dengan pencerahan, yakni
mengubah pemahaman masyarakat terlebih dahulu. Perubahan pemahaman ini dapat
dilakukan dengan berpijak pada dua hal.
Pertama, kesadaran baru mengenai sisi historis kelahiran agama
bahwa sebuah agama muncul untuk merespons penderitaan dan kesengsaraan
yang mencekam kehidupan umat manusia akibat penindasan dan eksploitasi yang
dilakukan komunitas sosial maupun individual yang dominan. Agama lahir sebagai
bentuk keprihatinan atas realitas sosial yang timpang. Untuk itu, kehadiran
agama merupakan upaya kritik dan pembelaan atas upaya-upaya dehumanisasi,
penistaan terhadap harkat dan nilai-nilai kemanusiaan.
Kedua, dari sisi doktrinal-normatif agama, teks-teks suci agama
yang bersifat normatif sangat perlu dipahami secara utuh, sehingga nilai-nilai
substansial agama dapat ditangkap secara keseluruhan. Dalam banyak hal ayat
Al-Qur’an, misalnya, dapat ditemukan penjelasan bahwa agama mengandaikan
keseimbangan antara dua kepentingan: Tuhan dan manusia. Bahkan, problem
kemanusiaan terkadang lebih penting untuk dikedepankan. Dalam surat Al-Ma’un misalnya,
ditegaskan bahwa para pendusta agama adalah mereka yang hanya menikmati solat
dan ritual-ritual formal lainnya tapi lupa akan nasib orang-orang yang
tereliminasi dan menderita secara sosial-ekonomi.
Tanpa mengadakan pembaruan
pemikiran dan pemahaman keagamaan dan etos kepedulian sosial yang tidak mengacu
pada misi utama islam sebagai pembebas penyelamat, akan sangat sulit mendapati
islam berperan dalam perkembangan masyarakat dewasa ini. Karena itu, pembaruan
pemikiran dan pemahaman keagamaan kiranya masih perlu diusahakan terus-menerus
agar agama islam dapat mengulang kembali perannya sebagai pembela kaum miskin,
pencipta masyarakat yang adil, sejahtera dan setara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar