Oleh: M Akhyar Yus Amrullah
Persoalan
bangsa ini dalam mewujudkan tatanan masyarakat ideal mengalami banyak
kendala, disamping arus deras globalisasi memaksakan masyarakat meningkatkan produktivitas dengan teknologi modern,
sehingga terjadi ketidaksiapan dalam memfilterisasi dan manajemen untuk menggunakan teknologi modern. Dampak lainnya
yaitu krisis kepemimpinan nasional. Tidak sedikit pemimpin tergoda
dalam “syahwat politik”,
memperkaya diri sendiri, membuat kebijakan yang merugikan masyarakat kecil, dan adapula
yang mengganggu kerukunanan beragama.
Melihat konflik-konflik yang ada di berbagai daerah saat ini, dimanakah pemimpin itu hadir dalam mencari solusi untuk kebaikan bersama, bukan ketika ingin diliput oleh media tulis maupun TV. Alangkah indahnya negeri ini jika seorang pemimpin hadir dengan hati yang bersih untuk membela ‘humanis’ tanpa memandang suatu golongan atau kelompok.
Mengutip falsafah kepala ikan busuk “bila kepala ikan membusuk, pengaruhnya akan menjalar keseluruh tubuhnya”. Menurut KH Amir Ma’sum, bahwa pemimpin adalah jiwa dari kelompok yang dipimpinnya, berarti jika jiwa itu hidup, sehat dan baik, maka seperti itulah tubuhnya. Sebaliknya, bila sang jiwa itu mati, sakit dan rusak, tentu sang tubuh akan menderita hal yang sama. Begitulah hubungan antara si pemimpin dan yang dipimpin dalam suatu ‘kelompok kepemimpinan’.
Melihat konflik-konflik yang ada di berbagai daerah saat ini, dimanakah pemimpin itu hadir dalam mencari solusi untuk kebaikan bersama, bukan ketika ingin diliput oleh media tulis maupun TV. Alangkah indahnya negeri ini jika seorang pemimpin hadir dengan hati yang bersih untuk membela ‘humanis’ tanpa memandang suatu golongan atau kelompok.
Mengutip falsafah kepala ikan busuk “bila kepala ikan membusuk, pengaruhnya akan menjalar keseluruh tubuhnya”. Menurut KH Amir Ma’sum, bahwa pemimpin adalah jiwa dari kelompok yang dipimpinnya, berarti jika jiwa itu hidup, sehat dan baik, maka seperti itulah tubuhnya. Sebaliknya, bila sang jiwa itu mati, sakit dan rusak, tentu sang tubuh akan menderita hal yang sama. Begitulah hubungan antara si pemimpin dan yang dipimpin dalam suatu ‘kelompok kepemimpinan’.
Allah berfirman
dalam Q.S. Al Ahzab ayat 72 : “Sesungguhnya Kami telahmengemukakan
amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul
amanat itu dan
mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan
dipikullah amanat itu
oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat
zalim dan amat bodoh”. Sejatinya amanah inilah
memotivasi seseorang untuk membentuk watak
kepemimpinan dan menjadikan seorang yang bertanggung jawab atas perilakunya. Hal ini
diperjelas sabda Rasulullah ”Setiap kamu adalah
pemimpin dan dimintai
tanggung jawab atas kepemimpinannya” (HR. al-Bukhari). Amanat
merupakan tugas yang
mulia, akan terasa berat
jika lalai dan menggunakan amanat
itu dengan cara menyimpang. Sabda
Rasulullah yang menyatakan “tidak seorang pun
yang diamanati Allah memimpin umatnya, kemudian ia mati
dalam keadaan masih
menipu yang dipimpinnya, melainkan Allah pasti mengharamkan baginya surga” (HR.
Bukhari dan muslim).
Bila amanat itu dikhianati oleh seorang pemimpin tidak hanya diganggu
gugat soal tanggung jawabannya secara formal dan fungsional, tetapi
akhlak kepemimpinannya pun dipertanyakan.
Melihat konsep
kepemimpinan dalam psikologi sosial ada tiga perspektif : 1) Perspektif
kepribadian, 2) Perspektif situasional, dan 3) Perspektif proses
kelompok. Pertama, perspektik kepribadian yaitu
keberhasilan sebuah kelompok untuk mencapai tujuannya
tergantung pada karakteristik atau sifat-sifat bawaan pada pemimpin.
Kedua, perspektik situasional yaitu keberhasilan seseorang dalam memimpin kelompoknya untuk
mencapai sebuah ujuan
bukan hanya bergantung pada karakteristik pemimpin,
tetapi lebih pada interaksi antara
pemimpin dengan kondisi
kultur yang dipimpin. Ketiga, perspektif proses kelompok yaitu bukan
hanya kepribadian pemimpin dan situasi organisasi atau kelompok, namun proses di
dalam kelompok juga mempengaruhi kepemimpinan. Proses kelompok inilah yang
biasa kita kenal di Muhammadiyah dengan sebutan perkaderan.
Kepemimpinan
dalam perspektif kelompok ini melahirkan gaya
kepemimpinan transformasional dan transaksional. Adanya
kharisma yang timbul bukan dari karakteristik atau bawaan, melainkan
akibat dari kekuasaan yang dimiliki, sehingga seseorang yang dipimpin untuk patuh dan taat. Perbedaan yang menjadi tolak ukur antara Kepemimpinan Transformasional dengan Transaksional dilihat dari tujuannya. Jika Kepemimpinan Transformasional kepada yang
dipimpin untuk mengembangkan potensi individu dalam rangka tujuan
organisasi dan menyampingkan kepentingan pribadi. Sedangkan Transaksional dengan adanya suatu
penghargaan untuk membuat orang yang dipimpin untuk melakukan
perintah, dan bentuk penghargaan itu tidak harus berupa materil melainkan rasa percaya,
komitmen dan rasa hormat. Kedua gaya kepemimpinan tersebut tidak luput dari adanya
proses kelompok, sehingga
sangat lazim adanya warna
kepemimpinan dalam periode di dalam organisasi.
Demikian
halnya proses kelompok pada organisasi yang mempunyai aspek religius sebagai
identitasnya, dalam pembentukan
karakteristik kepemimpinan. Kemudian
lahirlah gaya Kepemimpinan Profetik. Istilah profetik inilah dikenalkan oleh kuntowijoyo, yang mengejawantahkan
nilai nilai agama dalam reaksisosial seperti halnya dilakukan para nabi-nabi, khususnya Rasulullah
SAW. Dengan menekan dimensi hati (keimanan), jiwa (pencerahan) dan visi spiritual
dalam proses pembentukan sebuah tatanan dan sistem kehidupan yang adil. Ketiga unsur
tersebut terpancarkan kedalam sifat-sifat kepemimpinan Rasulullah SAW. Pertama shidiq (benar). Pemimpin yang konsisten
pada kebenaran, baik dalam ucapan, sikap maupun perilaku. Kedua amanah (terpercaya). Pemimpin yang berlaku jujur,memiliki moral
yang baik, komitmen pada tugas dan kewajiban. Ketiga fathanah (cerdas/bijaksana). Pemimpin yang memiliki penalaran
yang baik, kearifan, bijak dalam keputusan, kemampuan mengambil berbagai realitas
(hikmah) dari fenomena yang dihadapi. Keempat
tabligh (menyampaikan). Pemimpin dalam menyampaikan kebijakan secara terbuka, melibatkan
orang lain dalam pengambilan keputusan dan mempunyai sikap terbuka (transparan).
Menurut Ahmed Yasser Mansur dalam penelitian
mengenai studi kepemimpinan Profetik menyimpulkan adanya lima karakteristik :1)
Hidup berdasarkan Iman (Q.S.Al Maidah:55), 2) Berorientas ibadah sebagai visi dan
misi (Q.S al Anfal: 65-66), 4) Sifat sifat dan keteladan Rasulullah (Q.S. AlAhzab:21),
dan 5) Humanis (Q.S. AliImran: 159). Sehingga reproduktifitas organisasi dalam
proses kelompok akan menghasilkan beberapa gen kepemimpinan, untuk mencapai suatu
tujuan. Jika reproduktifitas ini mati atau berhenti, maka gen kepemimpinan ini menjadi
punah dan langka. Begitu juga gen kepemimpinan yang ada, tanpa adanya pembelajaran
dan tidak berani menangguhkan amanat baru seusai menyelesaikan amanat sebelumnya,
maka ia hidup dengan jalan ditempat melihat lingkungan disekitarnya dirusak.
Muhammadiyah merupakan organisasi dengan banyak
ekstafet kepemimpinan, setiap periodenya mempunyai formulasi kepemimpinan yang berwana.
Begitu juga organisasi otonomnya, membuat Muhammadiyah seperti pohon rindang yang
subur. Organisasi otonom lah ibarat akar yang menopang tubuh Muhammadiyah, serta
AUM ibaratdaun-daun rindang.Disinilah kenapa Muhammadiyah memfokuskan dakwah komunitas,
karena setiap elemen masyarakat dengan berbagai perkembangannya dari anak-anak hingga
orangtua, sangatlah membutuhan rolemodel. Hal itulah yang harus dilakukan oleh pimpinan dari
level manapun untuk reproduktifitas kembaligen kepemimpinan. Dalam hal ini proses
kelompok atau dikenal dengan istilah perkaderan maka Muhammadiyah merupakan sebuah
organisasi yang agresif dalam perkaderan, khususnya bagi kaum pelajar dan mahasiswa.
Perkaderan Muhammadiyah dan ortom-ortomnya harus
mampu mengahadirkan sosok pemimpin profetik dengan khasanah yang baru. Mengingat tidak ada perbedaan
atau tidak mengucilkan seseorang yang tidak patuh karena Rasulullah SAW mengajarkan
untuk mendamaikan dan menghindari permusuhan, bicara hati ke hati dengan akal sehat.
Dan kunci peran sebagai pemimpin profetik adalah mampu menguatkan dan membangun semangat para
anggotanya.
Kepemimpinan Profetik tidak menjadikan
materil sebagai kebutuhan primer, namun sebaliknya naluri altruristik (pengabdian)
menjadi peluru utama pondasi dalam berjuang untuk Muhammadiyah, umat dan bangsa.
Hal ini yang sering diajarkan dalam perkaderan khususnya tingkat pelajar dan mahasiswa
atau pemuda-pemudi. Namun bagaiamana kondisi saat ini? Ada apa dengan perkaderan
Muhammadiyah? Bahkan ada yang meragukan perkaderan ortom dengan sistem
pesantren? Pemimpin bukan sekedar bisa melaporkan pertanggung jawaban secara
formal maupun struktural, namun keraguan dengan penuh tanya “bagaimana akhlaknya?”.
Sebagai penutup,ada kutipan pidato dari bapak
Perkaderan Muhammadiyah, juga seorang kader Pemuda Muhammadiyah dan Pendiri
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah, beliaulah Djazman AlKindi “Kita harus hidup seribu
zaman lagi, tampuk pimpinan umat ada di kader Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Bagaimana
mungkin kitab isa menjadi penguasa dunia, kalau antar umat bersaudara menganggap
yang lain sebagai musuh dan tidak mau memperbaiki citra Islam itu sendiri. Nabi
berkata dalam bersabda:“ Janganlah kamu saling mendengki, janganlah kamu saling
membuat jauhnya pihak lain, janganlah kamu saling berebut dan jadilah kamu sekalian hamba Allah yang saling bersaudara” dalam sebuah buku
Immawan BungKarno.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar