Etika dalam Media Sosial
Oleh: M. Rizal Firdaus
PC IMM Djazman Al Kindi - Fenomena
Pilkada DKI 2017 sangat menarik sekali di perhatikan serasa Pilpres 2019. Dalam
mendekati Pilkada ini orang mencari tahu calon siapa saja yang maju dalam bursa
politk ini. yang lebih menarik dalam fenomena ini orang berbondong-bondong
memberitakan atau menginformasikan melalui dunia maya atau internet. Kebebasan
berpendapan atau opini dilakukan oleh orang yang mendukung salah satu calon
dengan menghalalka segala cara agar masyarakat dapat mengetahui seluk beluk
calon tersebut. Bahkan terkadang memberikan opini yang tidak sesuai dengan
realitanya atau mengumbar kebencian terhadap calon tersebut. Dalam
penyampaianya tersebut dapat dilihat melalui dunia media sosial. Disitu kita
bisa melihat rasa manis, kecut, asam dicampur menjadi satu. Perkembangan
internet sangat luas dan cepat sehingga orang bisa mengakses kapan pun dimana
pun.
Penggunaan internet
indonesia dari tahun ke tahun semakin pesat. Data dari lembaga riset pasar
e-Market, populasi netter Tanah Air mencapai 83,7 juta orang pada 2014. Angka
tersebut orang mengakses internet di Indonesia terbesar ke-6 di dunia dalam
pengguna internet. Pada sepanjang 2016 survei yang dilakukan oleh Asosiasi
Penyelenggara Jaringan Internet Indonesia (APJII), lebih dari setengah penduduk
Indonesia terhubung internet, yaitu sekitar 132,7 juta orang dengan total
penduduk Indonesia sebanyak 256,2 juta orang. Hal ini meningkat 51,8 persen
dari pengguna pada tahun 2014.
Dari sekian
banyak pengguna internet Indonesia, sebanding dengan perkembangan smartphone yang semakin berkembang. Alat
yang dapat mencari informasi secara luas ini, menurut data statistik mengakses
internet dari smartphone mencapai
63,1 atau 47,6 persen.
Jumlah
pengguna internet Indonesia yang semakin berkembang, orang lebih suka mengakses
internet ketimbang menonton televisi. Berdasarkan data dari We Are Social,
penggunaan internet di Indonesia mengasilkan rata-rata sekitar 4 jam 42 menit
mengakses internet di PC atau tablet dalam sehari. Dan untuk rata-rata pengguna
televisi hanya 2 jam 22 menit per hari. Jumlah ini jelas lebih sedikit
dibandingkan waktu pengguna internet.
Penggunaan
internet di Indonesia sekitar 30 persen aktif menggunakan media sosial, untuk
pengguna aplikasi seperti BBM, whatsApp, hingga Facebook dan twitter masih
banyak diunggah di dunia internet. Dalam dunia maya ini kebebasan berpendapat
sangat terbuka sekali baik yang bersifat manfaat hingga mencela banyak di
unggah. Informasi-informasi faktual hingga hoax tersebar dimana-mana sampai
sulitnya mana yang benar dan mana yang salah.
Mendekati
Pilkada 2017 banyak sekali informasi beredar di media sosial. Sampai presiden
kita Joko Widodo mengingatkan untuk menjaga etika dan moral untuk pengguna
media sosial. Dalam hal ini presiden sangat gusar melihat banyaknya media
sosial yang ujaran kebencian (hate speech).
Di Indonesia banyak yang saling hujat, saling ejek, provokasi hingga adu domba.
Kehadiran
internet di Indonesia sangat terbuka sekali dalam menyampaikan informasi, dalam
media sosial sebagai wahana berekspresi dan beropini. Orang bisa menulis apa
pun dimana pun selama ada akses internet. Dengan media sosial orang bisa
berbicara secara bebas ke publik dunia maya.
Indonesia
setelah runtuhnya rezim antikritik tahun 1998 telah melahirkan gelombang
kebebasan yang sangat luar biasa. Kalau sebelum 1998 orang tidak bisa
mengkritik karena takut dengan pemerintah pada saat itu, tetapi sekarang orang
bisa mengkritik pemerintah seolah-olah warga bisa jadi pengawas negara. Bahkan
batas warga dengan negara sudah sangat tipis sekali kalau dilihat dari
keterbukaan pendapat antara warga dengan pemerintah.
Keterbukaan
warga dalam menyampaikan informasi terkadang dapat menimbulkan perpecahan di
masyarakat. Banyak pengguna media sosial menyebar fitnah, provokasi hingga adu
domba yang dapat memecah integrasi bangsa. Akun yang meyebar kebencian atau
hoax dengan tujuan propaganda bertebaran dimana-mana. Tentunya ini sangat
memprihatinkan apalagi pengguna media sosial masih awam mudah sekali
terpancing.
Langkah pemerintah
untuk menangkal terjadinya suara kebencian di media sosial, melalui Kementerian
Komunikasi dan Informasi (KOMINFO) pada bulan November kemarin telah memblokir
11 situs yang berbau konten Suku, Agama dan Ras (SARA). Pemblokiran tersebut
bersifat sementara untuk mencegah terjadinya konflik berkepanjangan.
UU No 11 tahun
2008 tentang Informasi dan transaksi Elektronik (ITE) sudah resmi diberlakukan.
UU ini memiliki arti sangat penting dan strategis terutama dalam pertumbuhan
budaya internet yang sudah tidak terkendali lagi. Pengguna internet mayoritas
anak muda ini harus lebih menahan diri supaya tidak terkena dampak hukum yang
serius atas tindakan yang dilakukan lewat media sosial.
Namun dalam
penerapan UU ini bukan berarti tidak bisa berekspresi lagi akan tetapi ada
batasnya seperti halnya dengan dunia nyata. Kebebasan berekspresi dan
berpendapat punya tanggung jawab dan beban khusus. Kebebasan dibatasi hukum
dengan tujuan hak dan reputasi orang lain serta melindungi keamanan nasional
dan ketertiban moral publik.
Kebebasan
berekspresi tidak boleh secara sembarangan menyebarkan materi pornografi
tujuannya untuk melindungi hak anak yang belum dewasa. Dalam berpendapat orang tidak boleh
menyebarkan kebencian terhadap komunitas tertentu serta tidak boleh menyebar
hasutan publik untuk melakukan genosida. Sebagai masyarakat yang memiliki suku,
ras dan agama yang berbeda-beda tetap menjaga kebhinekaan agar tidak memicu
hasutan diskriminasi, kekerasan atau permusuhan.
UU ITE tidak
berati merampas kebebasan orang di dunia maya, tetapi dibatasi. Masyarakat
bersikap bijaksana dan secara bermartabat memanfaatkan media sosial atau
internet. para pengguna internet khususnya media sosial sudah seharusnya
menerapkan nilai-nilai etika, moral, menghormati dan toleransi. Media sosial
kita jadikan sebagai alat silaturahmi bersama antar warga negara kita Indonesia
bukan untuk alat pemicu disintegrasi anak bangsa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar