Oleh M Akhyar Yus Amrullah
Manusia sudah ditakdirkan untuk menjadi penghuni bumi dan Allah
sudah mempersiapkan segala sesuatu, termasuk memberikan tugas yaitu
beribadah kepadaNYA[1].
Adam dan Hawa diberkahi menjadi makhluk sempurna dan indah
dibandingkan makhluk lainya, Allah pun memberikan gelar kepada mereka
sebagai khalifah, walaupun keputusan itu membuat makhluk lainnya
bertanya-tanya “.......... Apakah Engkau hendak menjadikan orang
yang merusak dan menumpahkan darah disana, sedangkan kami bertasbih
memujiMu dan menyucikan namaMu...”[2]
. Bahkan Allah memerintahkan makhluk lainnya untuk bersujud kepada
mereka, namun perintah tersebut tidak dipatuhi dan dibantah dengan
suara lantang dan keras [3].
Melihat karakter mahkluk yang sangat membenci fitrah manusia dan
mempunyai cita-cita idealis maka terjadilah kisah kisah pembebasan yang diperankan oleh nabi-nabi dan keturunannya [4].
Kata “pembebasan” berarti sesuatu melepaskan diri dari ancaman
atau tekanan atau keluar dari belenggu ketidakadilan. Kisah kisah
para nabi-nabi yang diceritakan dalam Al Qur’an dalam setiap
episodenya, memunculkan dialektika ketuhanan dan dihadapkan dengan
pemain antagonis. Heroiknya segala keterbatasan yang dimiliki para
nabi ketika dihadapkan permasalah permasalahan yang tidak biasa pada
waktu itu, seperti menghadapi suatu budaya yang salah, sistem
pemerintah otoriter dan kapitallistik, orang yang termarjinalkan atau
mustadh’afin, problematika kehidupan dll, dengan itulah mereka
tidak ada pilihan kecuali menjadi pelopor dari pembela keadilan.
Namun tak luput dari kekuasaan Allah yang berwujud dialektika
ketuhanan yang menuntun para nabi pada mukjizatnya[5].
Dialektika ketuhanan inilah dapat disebut dengan teologi, dalam buku
Teologi Negatif Ibn Arabi menjelaskan berbagai definisinya. Berawal
dari kata teologi itu sendiri muncul di abad empat masehi, oleh
seorang pendeta Kristen yang berarti "pengetahuan tentang Tuhan
umat Kristen dan tentang Kristus", ia mengemukakan hal itu untuk
membersihkan teologi mitos yang dibawa pada zaman yunani kuno.
Kemudian dalam abad pertengahan Thomas Aquinas (1274 M)
mendifinisikan ulang bahwa teologi adalah dogma, kebenaran dalam
pengalaman religius dari penghayatan kitab suci [6].
Definisi teologi menurut Islam berkembang sedemikian rupa dan beragam dengan berbagai dimensi dan variasinya. Sebagai sebuah agama wahyu, Islam tentu saja memiliki sistem keyakinannya tersendiri yang bersifat doktrinal dan mengikat. Setidaknya ada lima terminologi untuk mendefinisikan "teologi” (1) 'Ilm al-kalam atau sering disingkat "kalam", disebut kalam karena ilmu ini membicarakan sifat-sifat Allah, yang salah satunya adalah bahwa Allah Berfirman (mutakallim). (2) 'Ilm ushul al-din atau pengetahuan tentang dasar-dasar agama. Keyakinan dan keimanan adalah dasar-dasar agama, dan teologi adalah pengetahuan tentang bagaimana beriman secara benar. (3) 'Ilm al-tawhid atau pengetahuan tentang Keesaan Allah. (4) 'Ilm al-'aqaid atau pengetahuan tentang keyakinan yang benar. (5) Al-fiqh al-akbar atau pengetahuan yang paling agung. Kelima terminologi tersebut mengungkap tentang dasar-dasar keimanan yang merupakan pengetahuan terpenting dalam beragama [7] .
Jelas teologi membicarakan Tuhan, tidak ada atau mustahil teologi
tanpa Tuhan. Teologi memiliki banyak varian subjek yang dibicarakan
seperti persoalan iman, dosa, keadilan, ramalan dan kenabian. Bahkan
transendentalitas (sesuatu yang suci dan gaib yang berada diluar
batas indra dan nalar) menjadi objeknya “Tuhan”, namun bukan
sembarangan untuk dibicarakan dan berupaya mengenali Tuhan dengan
main-main, melainkan upaya untuk mencapai “Yang Transenden” itu
sendiri. Kajian teologi tentang "Yang Transenden" tadi
memang mendekatkan teologi pada filsafat, tetapi teologi memiliki
perbedaannya tersendiri, karena tujuan teologi bukanlah pengetahuan
itu sendiri, melainkan yang disebut dengan “keimanan" (faith).
Maka bisa dimengerti teologi bertujuan untuk menebalkan "keimanan
atas yang-gaib" (al-iman bi al-ghayb) [8].
Melihat sejarah Amerika latin (1950-an), ketika proses
industrialisasi dapat berharapan agar ada pertumbuhan ekonomi, namun
sebaliknya industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang
begitu tajam. Menjadikan arus globalisasi sangat deras, sehingga
mengakibatkan urbanisasi, munculnya kaum proletar kelas buruh,
hutang, Inflasi melambung, biaya hidup tinggi, situasi politik
menjadi tegang dan labil [9].
Disisi lain teologi barat yang berkembang saat itu, dianggap hanya
sibuk mengkhotbahkan ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi,
mengimbau orang agar tetap bertahan dan sabar menghadapi penderitaan,
menghibur kaum miskin dan tertindas dengan iming-iming surga setelah
kematian [10] . Hal
demikian mengingatkan kepada kondisi Indonesia saat ini.
Menghubungkan makna teologi Islam dengan pembebasan yang dilakukan
oleh para nabi, menjadikan sebuah keyakinan dalam motivasi menegakan
keadilan dan mencegah kerusakan, maka seseorang yang memiliki
keyakinan tersebut merupakan orang-orang yang beruntung [11]
. Melihat realita itu di Indonesia, maka dengan membawa semangat
teologi pembebasan Islam otomatis sebagai muslim dan akademisi Islam
akan melawannya. Seperti kisah Abu Dzar yang memberikan protes kepada
mu’awiyah yang sangat pedas: “Hai, Mu’awiyah apabila kau
membangun istana ini dengan uangmu sendiri, maka hal itu sangatlah
mubadzir dan apabila dengan uang rakyat, maka hal itu adalah
pengkhianatan!”. Tak Tahan dengan ungkapan itu maka Mu’awiyah
mencoba menyuap dengan sekantong emas yang dibawakan oleh budak.
Pesannya pada budak itu: “bawalah kantong berisi emas ini kepada
Abu Dzar dan mendesak untuk menerima itu”. Wahai Abu Dzar, semoga
Allah mmemberkati Anda, ambilah emas in, karena kemerdekaan saya
terletak pada pemberian emas ini kepada Anda! Abu Dzar tetap menolak
dengan berkata “tetapi perbudakan saya terletak ketika menerima
uang itu”. Cerita tersebut bukan menitik beratkan bagaimana seorang
yang tegas menolak suap, tetapi keberaniannya untuk memprotes kondisi
sosial yang tidak sejodoh dengan realitas [12]
. Abu Dzar dalam teologi ini tidak bertumpu pada keimanan kepada
Allah saja, melainkan mencakup seluruh rukun iman [13]
.
Teologi pembebasan Islam pernah rekronstrusikan oleh Ashgar Ali
melihat dari sisi agama Islam itu sendiri mengandung semangat
pembebasan, sehingga melatarbelakangi perumusannya dengan analisis
kesejarahan pembebasan yang pernah dilakukan Nabi Muhammad SAW dan
banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit mendorong
proses pembebasan seperti ayat tentang pemerdekaan budak, kesetaraan
umat manusia, kesetaraan gender, kecaman atas eksploitasi dan
ketidakadilan ekonomi, dan lain sebagainya [14]
. Pernyataan lain mengenai Islam itu sendiri dikemukakan oleh Franzs
Magnis Suseno, “Sebenarnya Islam berkemajuan itu kurang benar
adanya, apalagi Islam nusantara, melainkan yang paling tepat adalah
Islam rahmatan lil ‘alamin”[15]
Rahmatan lil ‘alamin merupakan sebuah bentuk jelmaan dari teologi
pembebasan Islam, yang dipelopori oleh para nabi (membawakan agama
Islam) [16]. Azaki
Khoirudin berpendapat, Islam yang dinamis dan bersahabat dengan
lingkungan kultur, subkulur dan agama yang beragam [17].
Maka hal ini sangat bertolak belakang dengan faham marxisme adanya
kelas kelas atau kategori golongan, bahwa tidak perlu memperdebatkan
mahzab “Aku dudu kamadiyah, tapi nahdatul”. Dengan adanya
realitas saat ini umat Islam sangatlah mudah di adu domba ketika
ditanya, siapa paling benar pendapatnya. Islam itu bagi semua, Al
Qur’an adalah pedoman hidup bagi manusia, semua makhluk di muka
bumi ini senantiasa dalam rahmatNYA. Maka dalam buku Islam Bagi Kaum
Tertindas, menjelaskan bahwa Islam hadir bukan pada kelas sosial
tertentu “mustadh’afin”, namun sejatinya misi Islam sebagai
rahmatan lil alamin adalah hadir dalam pembelaan untuk mendapatkan
keadilan ditengah-tengah berlangsungnya penindasan atas manusia di
seluruh pelosok bumi ini [18].
Sebagai penutup penulis akan menghubungan judul ini dengan
progresifitas pada aktivis khususnya kader IMM. Sudah dipaparkan
berbagai teori dan realita saat ini, dan masih banyak yang belum
tertulis pada kesempatan ini. Al Qur’an sudah menceritakan banyak
kisah, para nabi dan sahabatnya juga sudah memberikan sebuah
pencerahan. Namun hal yang harus dipahami yaitu pemahaman mengenai
teologi pembebasan Islam dengan keadaan realita saat ini. Tidak
sedikit kegalauan aktivis yang dirasakan, ketika mereka tidak tau
arah dan tujuan untuk apa kita berjuang. Dengan demikian keroposnya
keimanan pada semua aktivis gerakan, dan ada juga mereka hanya
berjalan ditempat dengan sombonganya ingin mendapat pahala sendirian.
Berhenti pada pemahaman teologi sesaat (dogma), tanpa mencari
kebenarannya dan melihat realitas yang ada. Maka dengan tulisan ini,
mengawali untuk menyulutkan api perjuangan dan kembalinya ghairah
aktivis yang progresif.
Penulis mengharapkan adanya kritikan, saran dan pendapat mengenai
apa yang sudah ditulis, karena tanpa hal itu saya tidak akan belajar
dan bijaksana. Apabila ada kekurangan atau kesalahan atau menyinggung
pihak tertentu, penulis mengucapkan permohonan maaf akan hal
tersebut.
Nuun walqalami wamayasturun
Billahi fii sabilil haq, fastabiqul khairat
================================================================================
1 Q.S. Adz Dzariyat (51) : 56
“Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia agar mereka beribadah
kepada-Ku”
2 Q.S. Al Baqarah : 30
3 Q.S Al Isra’ (17) : 61
“Dan (ingatlah), tatkala Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu semua kepada Adam", lalu
mereka sujud kecuali iblis.
Dia berkata: "Apakah aku akan sujud kepada orang yang Engkau
ciptakan dari tanah?”
4 Q.S. Al Isra’ (17) :
62 “Dia (iblis) berkata: "Terangkanlah kepadaku inikah
orangnya yang Engkau muliakan atas diriku?
Sesungguhnya jika Engkau
memberi tangguh kepadaku sampai hari kiamat, niscaya
benar-benar akan aku sesatkan keturunannya, kecuali sebahagian
kecil"
5 Eko Prasetyo, Kisah Kisah
Pembebasan dalam Qur’an, Resist Book, 2012
6 Muhammad Al Fayyadl, Teologi
Negatif Ibn ‘Arabi, LKIS, 2012, Hal 64
7 Ibid, hal. 65
8 Ibid, hal. 69
9 Michael Lowy, Teologi
Pembebasan, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 40
10 Francis Wahono N., Teologi,
hlm.37
11 Q.S. Ali Imron (3) : 104
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma´ruf dan mencegah dari yang
munkar; merekalah orang-orang yang beruntung”
12 Eko Prasetyo, Kisah Kisah
Pembebasan dalam Qur’an, Resist Book, 2012, hal. 159
13 Ashad Kusuma D., Islam Bagi
Kaum Tertindas, 2016, hal. 8-50
14 Asghar Ali E., Islam dan
Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, 2009
15 Disampaikan di acara
Konvensi Nasional Indonesia Berkemajuan, 24 Mei 2016
16 QS.Al-Anbiyah (21) :107
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat
bagi semesta alam”
17 Azaki Khoirudin, dkk,
Kosmopolitanisme Islam Berkemajuan, Muhammadiyah University Press,
2015
18 Ibid, Islam Bagi Kaum
Tertindas
================================================================================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar