Oleh: M Saiful Hadi
Banyak dimensi yang
bisa menjelaskan apa itu politik. Politik bisa diartikan sebagai kekuasaan,
aktivitas kelembagaan pemerintah, dan masih banyak lainnya. Namun dari sekian
banyak pengertian mengenai politik, yang menonjol adalah melalui pendekatan
kekuasaan. Politik diartikan sebagai cara bagaimana kita mendapatkan suatu
kekuasaan dan bagaimana mempertahankan kekuasaan tersebut.
Kenapa harus kekuasaan yang diperebutkan? Dengan kekuasaan kita
bisa memperoleh sumber– sumber daya kekuasaan, kewenangan dan hak-hak yang
secara legitimasi bisa kita lakukan apapun itu sesuai keinginan dan kepentingan
kita.
Di dalam kehidupan sehari-hari
kita menyaksikan banyak orang berebut posisi menjadi pemimpin. Dianggapnya
pemimpin adalah sebagai sesuatu yang urgen untuk diperebutkan dengan berbagai
alasannya. Memang seseorang yang menjadi pemimpin biasanya diikuti oleh orang
lain dan juga akan memperoleh berbagai jenis keutungan atau fasilitas yang
membanggakan.
Pada akhir-akhir, di
zaman demokrasi, posisi pemimpin benar-benar diperebutkan dan bahkan dengan
menggunakan berbagai cara yang bisa dilakukan. Perebutan itu tidak jarang harus
mengorbankan uang, sopan santun dan bahkan juga etika. Dalam perebutan itu,
seseorang dianggap biasa atau tidak salah ketika menggunakan cara-cara yang
tidak etis, misalnya harus menjatuhkan lawan, mengadu domba, memfitnah, dan
seterusnya.
Pemimpin yang
dipandang sebagai kekuatan strategis untuk melakukan sesuatu kebaikan atau
manfaat bagi banyak orang, tetapi justru ditempuh dengan cara yang tidak
sejalan dengan keberadaan dan fungsi kepemimpinan itu sendiri. Banyak intrik,
maupun isu yang digulirkan untuk menjatuhkan reputasi dari lawan politik. Kita
lihat dengan contoh kasus kisah tragis bawang merah bawang putih, kasus loby A,
B dan C untuk mendukung si calon kandidat. Disadari atau tidak ada unsur
politik dibalik isu tersebut.
Tanpa disadari,
mahasiswa sebagai kalangan akademisi dituntut untuk berpolitik dan memahami
politik itu sendiri, baik teoritis maupun secara praktis. Di dalam konstalasi
politik kampus, mahasiswa sangat terlihat jelas peran dan kegiatan politiknya.
Dimana mahasiswa dengan berbagai kepentingannya berlomba dan berkompetisi untuk
menduduki dan mendapatkan sumber–sumber kekuasaan seperti menduduki jabatan
politis di organisasi intra dan extra kampus.
Mahasiswa dengan
berbagai background jurusan tanpa mereka sadari, mereka telah memahami politik
itu sendiri meskipun mereka berdalih tidak paham tentang politik. Demikian
dengan konstalasi peta politik. Waktu-waktu dimana konstalasi politik sedang
memanas, dimana kursi kekuasaan sebagai pemimpin diperebutkan.
Agama menjelaskan
bahwa kepemimpinan itu adalah amanah yang harus ditunaikan. Selain itu agama
selalu mengedepankan etika, nilai-nilai mulia atau disebutnya sebagai akhlak
mulia, namun pada kenyataannya misi utama itu biasa terkesampingkan oleh
semangat meraih posisi sebagai pemimpin. Apa saja terkait dengan nafsu untuk
menjadi pemimpin atau menguasai orang lain, ternyata nilai-nilai yang bersifat
transenden pun, dipandang bisa diabaikan.
Melihat kenyataan
tersebut, menjalankan nilai-nilai agama ternyata bukan perkara mudah. Pada
lembaga agama, tidak terkecuali di lembaga pendidikan agama, juga tidak luput
dari adanya perebutan posisi kepemimpnan. Bahkan perebutan kepemimpjnan dalam
lembaga agama kadang sedemikian keras, sehingga tidak mudah dibedakan dari yang
terjadi di luar wilayah keagamaan. Nilai-nilai agama kadang tidak terdengar
ketika berada pada wilayah perebutan kepemimpinan. Akhirnya, agama hanya berada
di masjid atau di tempat ibadah, dan bukan di tempat lain, termasuk di dalam
kepemimpinan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar