Oleh:
M Saiful Hadi
Indonesia adalah negara di Asia
Tenggara, yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara benua Asia dan
Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Indonesia adalah negara
kepulauan terbesar di dunia, pulau yang tersebar mulai dari sabang, Sumatra,
jawa, bangka, Kalimantan, bali, Lombok, Sulawesi, hingga ke ujung Indonesia
yaitu marauke di papua yang biasa disebut Nusantara. Indonesia terletak pada
daerah tropis yang memiliki curah hujan yang tinggi sehingga banyak jenis
tumbuhan yang dapat hidup dan tumbuh dengan cepat. Indonesia kaya akan sumber
makanan, berbagai jenis tanaman, hewan, dan juga mengandung berbagai jenis
sumber mineral. Sehingga Indonesia memiliki keanekaragaman sumber daya alam
hayati yang melimpah ruah. Mulai dari pertanian Indonesia menghasilkan berbagai
macam tumbuhan komoditi ekspor, antara lain padi, jagung, kedelai,
sayur-sayuran, cabai, ubi, dan singkong. Di samping itu, Indonesia juga dikenal
dengan hasil perkebunannya, antara lain karet, kelapa sawit, tembakau, kapas,
kopi, cengkeh, tebu dan bahkan kayu yang banyak diantaranya menempati urutan
atas dari segi produksinya di dunia.. Disamping itu Indonesia juga memiliki
sumber daya alam hewani dapat berupa hewan liar maupun hewan yang sudah
dibudidayakan. Pemanfaatannya dapat sebagai pembantu pekerjaan berat manusia,
seperti sapi, kerbau dan kuda atau sebagai sumber bahan pangan, seperti ungas,
kambing dan sapi.
Memang benar Indonesia dijuluki sebagai
negara agraris, dengan lahan pertanian Indonesia yang sangat luas jadi wajar
banyak penduduk Indonesia menjadi petani. Tetapi disini ternyata muncul dilema
tersendiri bagi petani-petani di Indonesia. Mengapa demikian?
Kita sedikit mengenang masa kejayaan
Indonesia ditahun 1980an, dimana Indonesia dikenal dengan macan asia, Indonesia
bisa swasembada pangan terutama beras. Dulu tidak ada yang namanya bantuan
untuk rakyat miskin (raskin) karena ketersediaan beras mencukupi. Tapi sekarang
para petani beras malah yang mendapat bantuan beras (raskin). Kenapa? Ada
sesuatu yang tidak wajar yang terjadi di Indonesia.
Selain itu dengan banyaknya lahan
pertanian di dalam negeri, dengan hasil panen yang cukup melimpah tapi kenapa
pemerintah malah impor beras dari negara lain? Apakah kualitas beras dalam
negeri kurang baik ? apakah hasil panen tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri?
Sebagai seorang petani yang memiliki hasil
yang melimpah bukan jaminan menjadikan petani sukses. hukum pasar memang
apabila suatu barang/benda yang tersedia dipasaran banyak maka akan sangat
berpengaruh sekali terhadap harga. Petani yang
ingin mendapat hasil panen yang cukup dan harga yang sewajarnya
terkadang ini hanya menjadi mimpi yang tidak akan terwujud. Petani singkong,
padi dan lainnya yang ada di beberapa daerah di Indonesia dibuat tidak berdaya
oleh harga dari tengkulak dan oknum yang tidak memihak kepada petani mengambil
peluang mendapatkan keuntungan, mereka menawar hasil panen dengan harga yang
sangat jauh dari layak seolah merekalah yang mengatur harga. Para tengkulak pun
mengambil hasil panen sepanjang waktu dan berpindah pindah dari petani satu
kepetani lainnya di berbagai daerah yang sedang panen di sanalah daerah yang
menjadi sasaran untuk mendapatkan harga di bawah harga pasar. Setiap saat
tengkulak mampu menampung hasil panen dari berbagai daerah secara bergiliran
dan dikirim ke kota yang memiliki harga lebih mahal.
Kita ambil contohnya saja gabah
kering sekarang ini harga berkisar Rp. 4000 per kilogram nya. itupun tidak
semua hasil panen yang diambil tengkulak, hanya di ambil gabah dengan kualitas
yang cukup bagus bagi mereka. Itu juga belum dipotong oleh berat kotor dan
biaya penggilingan dan lain sebagainya. Dari harga yang berkisar Rp. 4000 itu
tadi, yang bersih ke tangan petani hanya kisaran Rp. 500-600 karena untuk upah
panen dan angkut per kilo nya sampai ke tempat transaksi berkisar Rp. 600 -700.
Jika ada petani yang ingin menjualnya ke pasar supaya mendapat harga yang lebih
tinggi pun harus menerima dengan harga yang tidak sesuai dengan harga beras
yang ada di pasar bahkan terkadang para petani pun tidak mampu untuk
membelinya. Hal ini pun terjadi hanpir di semua produk pertanian. Ketika hasil
pertanian melimpah ruah maka harganya pun semakin turun.
Melihat proses penanaman bibit padi sampai panen memerlukan waktu 3
sampai 4 bulan, tidak dapat diproses dipercepat seperti memproduk olahan pangan
dalam pabrik atau produk lainnya dalam pabrik yang disa diperpendek waktu
dengan mempercecat proses aktifitasnya. Produksi beras selalu dipengaruhi oleh
kondisi cuaca alam, mungkin terlalu banyak hujan angin, padi yang sedang
berbuah, bunga benangsarinya kena angin akan jatuh keluar putik, mengakibatkan
padi (gabahnya) tidak berisi penuh, banyak angin bisa mengakibatkan tanaman
padi menjadi roboh, buah padi tidak berisi penuh, tanaman roboh, banyak hujan
lahan sawah menggenang, padi (gabahnya tidak berisi penuh. Padi tidak dipupuk
dengan baik, hasilnya kurang dan sebagainya. Dikala musim kemarau sawah yang
jauh dari sungai besar kadang kekurangan kebutuhan air, mengakibatkan
pertumbuhannya terhambat dan menghasilkan buah yang terbatas. Hasil panen
petani harus dipotong dengan biaya produksi berupa pembelian bibit, pupuk serta
pestisida buatan industri besar yang disokong oleh kebijkan pemerintah,
penjajahan ini semakin terasa karena petani tidak dibekali dengan pemahaman
pertanian berkelanjutan.
Sungguh
kisah yang memilukan untuk mereka. Para
petani yang setiap hari bergelut dengan tanah, bermandikan keringat dan bekerja
di bawah terik matahari, dihantam oleh kaki besi yang tidak beralas. Berharap
mendapatkan hasil yang sepadan. Namun, itu seperti sebatas impian berujung pilu
dengan sabar pekerjaan itu dikerjakan guna menghidupi anak dan keluarga.
Merekapun disanjung sebagai pahlawan bangsa yang berjasa menyediakan pangan
untuk menghidupi 257,9 juta penduduk Indonesia ini. Saat ini di berbagai daerah
anak-anak muda sudah enggan ke sawah, mereka bersekolah dan lebih memilih
bekerja di bidang produk dan jasa.
Petani
yang selalu identik dengan kemiskinan membuat generasi muda takut untuk menjadi
petani. Lalu jika petani tidak ada, maka bangsa ini makan apa? Apa yang salah
pada pertanian kita? Mengapa para petani yang selama ini menanam padi justru
menderita kelaparan, kurang gizi, dan kemiskinan yang parah?
Hal ini, jelasnya, menjadi penyebab tergerusnya ketertarikan bagi
penerus bangsa (generasi muda) di sektor pertanian, dengan kata lain hari ini
menjadi petani sama halnya menjadi miskin.
Perubahan
gaya pandang ini dijadikan senjata bagi pemerintah guna mengarahkan pemuda ke
sektor lain diluar pertanian, sehingga lahan-lahan pertanian dialihkan menjadi
lahan perindustrian, perkebunan skala besar yang tidak berbasis pangan,
Ironi
ini menjadi perhatian penting bagi kita semua rakyat Indonesia. Negara agraris
menjadi isapan jempol belaka. Di negara agraris ini petani tidak sejahtera. Di
negara agraris ini petani di tindas. Dan di negara agraris ini pemerintah
berselingkuh dengan pengusaha untuk menindas dan merebut lahan petani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar