Oleh: M. Rizal Firdaus
Pada saat ini hak asasi manusia (HAM) dan demokrasi menjadi isu penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bahkan kini perlindungan HAM merupakan prasyarat bagi kerja sama internasional. Suatu negara yang mengabaikan HAM dapat dipastikan menjadi sasaran kritik oleh dunia internasional, dan akan terasingkan dari pergaulan internasional. HAM, yang pada dasarnya bersifat moral dan bukan politis ini menjadi hal yang penting sekali setelah Perang Dunia II dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau DUHAM), pada 10 Desember 1948, yang didukung oleh sebagian besar anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Hanya saja, pelaksanaan HAM di banyak negara kini masih mengalami banyak hambatan, termasuk di negara-negara Muslim.
Berbeda dengan istilah dan sistem demokrasi yang sampai kini masih diperdebatkan di antara ulama serta intelektual dan aktivis Muslim, hampir semua mereka setuju dengan istilah hak-hak asasi manusia (HAM) ini, meskipun konsep yang mereka kemukakan tidak sepenuhnya sama dengan konsep liberal. Penerimaan ini disebabkan karena essensi dari HAM ini sudah diakui oleh Islam sejak masa permulaan sejarahnya. Di dalam Al-Quran dan Hadits disebutkan bahwa manusia dijadikan sebagai khalifah Allah di atas bumi, yang dikaruniai kemuliaan dan martabat yang harus dihormati dan dilindungi. Di antara ayat Al-Quran yang menunjukkan hal ini adalah Q.S. Al-Isra’: 70, yakni “Dan sesungguhnya telah Kami muliakan anak-anak Adam ...”. Hal ini mengandung pengertian bahwa manusia secara fitrah (natural) memiliki kemulian (karamah) dan oleh karenanya kemulian ini harus dilindungi. Di antara Hadits yang menunjukkan persamaan umat manusia dan penghormatan martabat mereka adalah “Manusia pada dasarnya adalah sama dan sederajat bagaikan gigi-gigi sisir, tidak ada keistimewaan bagi orang Arab atas orang non-Arab kecuali karena ketaqwaannya”.
Dalam persepektif Islam, konsep HAM itu dijelaskan melalui konsep maqâshid alsyarî’ah (tujuan syari’ah), yang sudah dirumuskan oleh para ulama masa lalu. Tujuan syari‘ah (maqâshid al-syarî’ah) ini adalah untuk mewujudkan kemaslahatan (mashlahah) umat manusia dengan cara melindungi dan mewujudkan dan melindungi hal-hal yang menjadi keniscayaan (dharûriyyât) mereka, serta memenuhi hal-hal yang menjadi kebutuhan (hâjiyyât) dan hiasan (tahsîniyyât) mereka”, Hanya saja, pelaksanaan HAM itu tidak bisa terlepas dari agama dan budaya suatu masyarakat tertentu, sehingga dalam beberapa kasus pelaksanaan HAM bersifat partikular dalam rangka penyesuaian ini dan bukan untuk mempertahankan kekuasaan suatu pemerintahan tertentu.
Sistem HAM Islam mengandung prinsip-prinsip dasar tentang persamaan, kebebasan dan peghormatan terhadap sesama manusia. Persamaan, artinya Islam memandang semua manusia sama dan mempunyai kedudukan yang sama. Satu-satunya keunggulan yang dinikmati seorang manusia atas manusia lainya hanya ditentukan oleh tingkat ketakwaannya. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam surat Al-Hujarat ayat 13. “Hai manusia, sesungguhnya kami ciptakan kamu dari laki-laki dan perempuan, dan kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling takwa.”
Kebebasan dalam islam memberikan jaminan manusia agar terhindar dari kesia-siaan dan tekanan, baik yang berkaitan dengan masalah agama, politik dan ideologi. Namun, demkian pemberian kebebasan terhadap manusia bukan berarti mereka dapat menggunakan kebebasan tersebut mutlak, tetapi dalam kebebasan tersebut terkandung hak dan kepentingan orang lain yang harus dihormati. Dalam Islam seluruh ras kebangsaan mendapat kehormatan yang sama.
Pengaturan Hak Asasi Manusia dalam Hukum islam
Al Qur’an dan Sunnah sebagai sumber hukum dalam Islam memberikan penghargaan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Al Qur’an sebagai sumber hukum pertama bagi umat Islam telah meletakkan dasar-dasar HAM serta kebenaran dan keadilan, jauh sebelum timbul pemikiran mengenai hal tersebut pada masyarakat dunia. Pengaturan mengenai HAM dapat dilihat dalam Piagam Madinah dan Khutbah Wada’. Kedua naskah yang berkenaan dengan Nabi ini kemudian menjadi masterpeacenya HAM dalam perspektif Islam.
Piagam Madinah adalah suatu kesepakatan anatara berbagai golongan di Madinah dalam menegakkan ikatan kebersamaan dan kemanusiaan. Adapun golongan masyarakat di Madinah pada masa itu terdiri dari tiga kelompok, yaitu golongan Islam yang terdiri dari golongan Anshar dan Muhajirin, golongan yahudi dan para penyembah berhala. Ditengah pluralitas masyarakat seperti itu Nabi saw berusaha membangun tatanan kehidupan bersama yang dapat menjamin hidup berdampingan secara damai dan sejahtera. Prakteknya, Nabi saw mempererat persaudaraan Muhajirin dan Anshar berdasakan ikatan akidah. Sedangkan terhadap mereka yang berlainan agama, beliau mempersatukannya atas ikatan sosial politik dan kemanusiaan. Bukti konkretnya adalah adanya kesepakatan yang tertuang dalam piagam Madinah. Inti dari Madinah ini meliputi prinsip persamaan, persaudaraan, persatuan, kebebasan, toleransi bergama, perdamaian, tolong menolong dan membela yang teraniaya serta mempertahankan madinah dari musuh.
Khutbah Wada’ sampai sekarang sering dikenal sebagai khutbah atau pidato perpisahan nabi Muhammad saw dengan umat Islam seluruh dunia dan penegasan kesempunaan ajaran Islam yang telah disampaikannya. Padahal sebenarnya lebih dari itu, dalam khutbah yang bertepatan dengan pelaksanaan wukuf di Arafah pada tanggal 19 Dzulhijjah 11 H itu, terdapat hal lain yang telah menjunjung tinggi nilai-nilai asasi manusia. Dimana pada saat itu Nabi saw menyerukan “saudara-saudara! Bahwasanya darah kamu dan harta benda kamu sekalian adalah suci bagi kamu, seperti hari dan bulan suci ini, sampai datang masanya kamu sekalian dihadapan Allah. Dan kamu menghadap Allah, kamu semua akan dimintai pertanggungjawaban atas segala perbautan kamu”
Di negara-negara Islam terlihat adanya usaha untuk merumuskan suatu dokumen menegenai HAM yang Islami, artinya mengacu pada Al Qur’an dan Sunnah.
1. Deklarasi Islami Universal tentang Hak Asasi Manusia
Deklarasi ini disusun dalam Konferensi Islam di Makkah pada tahun 1981. Deklarasi ini terdiri dari 23 pasal yang menampung dua kekuatan dasar, yaitu keimanan kepada Tuhan dan pembentukan tatanan Islam dalam pendahuluan deklarasi ini dikemukakan bahwa hak-hak asasi manusia dalam Islam bersumber dari suatu kepercayaan bahwa Allah SWT, dan hanya Allah sebagai hukum dan sumber dari segala HAM.
2. Deklarasi Cairo
Deklarasi ini dicetuskan oleh menteri-menteri luar negeri dari negara-negara Organisasi Konferensi Islam (OKI) pada tahun 1990. Peran sentral syari’at Islam sebagai kerangka acuan dan juga pedoman interpretasi dari Deklarasi Cairo ini terwujud pada dokumen itusendiri, terutama pada dua pasal terakhirnya yang menyatakan bahwa semua hak asasi dan kemerdekaan yang ditetapkan dalam deklarasi ini merupakan subyek dari syari’ah Islam adalah satu-satunya sumber acuan untuk penjelasan dan penjernihan pasal-pasal deklarasi ini (pasal 23 dan 24).
Referensi :
Masykuri Abdillah. ISLAM DAN HAK ASASI MANUSIA: Penegakan dan Problem HAM di Indonesia. Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Yefrizawati. Hak Asasi Manusia Dalam Perspektif Hukum Islam. Program Studi Hukum Keperdataan Fakultas Hukum. Universitas Sumatera Utara
Tidak ada komentar:
Posting Komentar