YOGYAKARTA (kabarkota.com) - Kepala Bidang Pendidikan Luar Biasa (PLB) dan Pendidikan Dasar (Dikdas) Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY, Didik Wardaya menyebutkan, saat ini ada sekitar dua ribu Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) yang belum tertangani di Yogyakarta.
Hal tersebut disampaikan Didik, saat Sosialisasi Pendidikan Inklusif kepada ratusan Guru SD dan SMP Reguler, di kantor Disdikpora DIY, Rabu (14/1).
"Kami sudah memberikan layanan pendidikan inklusif namun memang prosesnya pelan-pelan. Dalam perjalannya, bicara ABK itu bicara HAM karena pendidikan dasar menjadi hak bagi setiap Warga Negara di Indonesia," ucap Didik.
Semestinya, kata Didik, mereka diperlakukan sama dengan anak-anak normal lainnya.
Sementara dalam pemaparannya, Mantan Direktur Pembinaan Pendidikan Khusus Layanan Khusus (PPKLK) Dirjen Pendidikan Dasar, Kemendikbud, Mudjito juga menyatakan, banyaknya ABK yang belum bersekolah itu karena umumnya para orang tua mereka masih merasa malu.
"Di rumah mereka menjadi beban keluarga, di sisi lain mereka juga perlu bersosialisasi," anggap Mudjito.
Oleh karenanya, ia meminta agar para orang tua bisa membuka diri dan menyiapkan anak-anak mereka supaya tidak terbenam dalam keterpurukan, melalui pendidikan inklusif.
Dosen PLB Universitas Negeri Surabaya ini menjelaskan, pendidikan inklusif itu kuncinya mengintegrasikan semua tipe anak dalam satu layanan pendidikan yang non diskriminatif, dan kurikulum yang dimodifikasi.
"Pendidikan untuk semua, belajar hidup bersama, dan berintegrasi dengan lingkungannya," ucapnya lagi.
Konsultan Pendidikan yang juga dosen tamu di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Siebrig Hindrik Schreuder, keberadaan guru pendamping bagi ABK sebenarnya cenderung menyebabkan ketergantungan anak dan tidak mandiri.
Sedangkan tanpa adanya pendampingan, justru akan mendorong anak lebih berpartisipasi aktif dalam berbagai kegiatan di sekolahnya.
Ketika sampai ada anak-anak berkebutuhan khusus mendapatkan perlakuan tidak menyenangkan dari sekolah, menurutnya, itu berkaitan dengan masalah kesiapan, baik dari guru, siswa, maupun para orang tua mereka.
Namun, lanjut Schreuder, hal tersebut dapat disiasati dengan melibatkan para peserta didik untuk berdiskusi bersama, atau pun role play sehingga anak-anak normal juga bisa merasakan bagaimana rasanya ketika mendapatkan perlakuan yang tidak menyenangkan itu.
Bagi Lily Halim yang merupakan Kepala Sekolah dari SD Kristen Kalam Kudus Kota Yogyakarta yang pernah menerima siswa pengidap Cerebral Palsy (lumpuh otak), kehadiran ABK itu justru menumbuhkan solidaritas antarsiswa.
"Menurut saya, kuncinya ada pada guru. Bagaimana ia bisa memperlakukan anak-anak ini," kata Lily kepada kabarkota.com, usai Sosialisasi.
SUTRIYATI .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar